Gambaran Umum OPD
421xI BATAS WILAYAH
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten
Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
Sebelah utara : Kabupaten Sleman
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut
II KEADAAN ALAM
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
Bagian tengah adalah Sungai Code
Sebelah barat adalah Sungai Winongo
III LUAS WILAYAH
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY
Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa (sumber data dari SIAK per tanggal 28 Februari 2013) dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km²
IV TIPE TANAH
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
V IKLIM
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam
VI DEMOGRAFI
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun.
B U M I J O
Berdasarkan Toponim Kampung Abdi Dalem Njaba Beteng Penamaan Kampung Bumijo merupakan tempat tinggal Abdi Dalem yang menangani urusan pertanian dan pertamanan.
Bumijo berasal dari kata bumi sing rejo, atau tanah yang memberi kemakmuran. Secara administratif kampung ini berada di wilayah Kelurahan Bumijo, Kemantren Jetis
Sumber : https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/7/toponim-kampung-abdi-dalem-njababeteng#:~:text=Bumijo%20berasal%20dari%20kata%20bumi,
wilayah%20Kelurahan%20Bumijo%2C%20Kecamatan%20Jetis.
B A D R A N
Awalnya konon dari kata "Bebadra" atau tirakat, yang kemudian menjadi "Badran".
Kampung Badran yang terletak di sisi barat kota Yogyakarta, pada zaman dahulu merupakan bong China atau tempat pemakaman warga keturunan Tionghoa. Bong China tersebut kemudian dibongkar karena rencananya di wilayah tersebut akan dijadikan kawasan pemukiman. Bagi warga keturunan Tionghoa yang mampu, abu leluhur mereka yang tersimpan di bong China Badran dipindahkan ke Makam Gunung Sempu, sedangkan bagi warga keturunan Tionghoa yang tidak mampu, abu leluhur mereka dilarung ke laut atau mereka menyimpan abu leluhurnya di dalam rumah. Pada dasawarsa 50-an, kawasan Badran mulai dihuni oleh penduduk dan menjadi sebuah kawasan pemukiman yang baru. Beberapa informasi menyebutkan ada beberapa makam warga keturunan Tionghoa yang tidak mau dipindah dan akhirnya dibiarkan tetap berada di kampung tersebut. Jejak adanya bong China di kampung Badran masih dapat ditemui hingga sekarang melalui keberadaan Krematorium Wahana Mulia, Badran yang terletak di pinggir jalan Tentara Rakyat Mataram, Yogyakarta.
Kawasan Badran pada zaman dahulu juga dikenal sebagai tempat bebodro atau bermeditasi untuk menjalani laku tirakat. Di dekat Sungai Winongo ada sebuah pohon besar yang dikeramatkan oleh masyarakat dan konon kabarnya dihuni oleh penunggu gaib yang bernama Ki Bodronoyo. Nama Bebodro dan Ki Bodronoyo menjadi toponim nama kampung tersebut, yaitu Badran.
Badran berasal dari kata Badra yg berarti budi, bahagia atau sakral, karena awalnya Badran tempat orang-orang mengasah budi, lebih dari 120 nama kampung di Jogja menggunakan tambahan akhiran an, begitu pula Badra-an menjadi Badran. Di wilayah Badran juga mengalir Sungai Winongo, dinamakan Winongo karena banyak pohon yg dikeramatkan disepanjang alirannya khususnya yg paling banyak di wilayah Badran, Winongo berasal dari pohon Winong atau Binong atau Aji Binong. Di tempat ini dahulunya terdapat lobang-lobang gua di bawah pohon Winong digunakan untuk bertapa atau untuk mengasah budi. Sekarang wilayah Badran memiliki predikat resmi dari pemerintah sebagai Kampung Ramah Anak, ramah bagi anak-anak dan masyarakatnya yg begitu majemuk, semua golongan, suku dan keyakinan hidup rukun dan damai di kampung Badran. Kampung Badran saat menjadi salah satu pemukiman di kota Yogyakarta yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta.
Sumber : http://rw09badran.blogspot.com/2018/07/asal-usul-kampung-badran.html
P I N G I T
Berdasarkan Toponim Kampung Njaba Beteng . Toponimi kampung-kampung di luar benteng juga memuat penamaan seperti di atas, dengan tambahan aktivitas (Kampung Pingit, Macasan), komunitas etnis (Sayidan), pekerjaan penduduk (Tukangan, Ngupasan), benda kerajinan (Gampingan), folklor (Kintelan, Jenggotan), pola permukiman (Kotabaru), dan harapan (Tegalmulyo, Tegalsari)
Penamaan kampung diambil dari leksem aktivitas seperti penamaan pada Kampung Pingit. Dinamakan Pingit karena merupakan suatu wilayah atau tempat bagi Sultan pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk "memingit " atau "menyendirikan" wanita-wanita yang dipilih untuk tujuan tertentu.
Sumber :
Jayanti, Arum. 2020. Toponimi Kampung Njeron Beteng dan Njaban Beteng Keraton Yogyakarta. Deskripsi Bahasa Vol. 3(1). 2020, pp. 37-46. https://jurnal.ugm.ac.id/db